Get Gifs at CodemySpace.com

Senin, 28 November 2011

ASKEP HEMATOMA


BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.  Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalulintas.
            Adapun pembagian trauma kapitis adalah:
  • Simple head injury
  • Commotio cerebri
  • Contusion cerebri
  • Laceratio cerebri
  • Basis cranii fracture
Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala ringan.  Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.
            Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak.  Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada kepala.  Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak.
            Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural, subdural dan intraserebral.  Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan fungsi saja, yaitu gegar otak atau cedera struktural yang difus.
            Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah.  Gelombang ini mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan yang disebut “coup” atau ditempat yang berseberangan dengan benturan  (contra coup)

A.    DEFINISI HEMATOMA SUBDURAL
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.





Gb. Hematoma Subdural

B.     ETIOLOGI
            Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
a.       Trauma kapitis
b.      Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
c.       Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.
d.      Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.
e.       Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
f.       Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.



Gg. Perdarahan pada subdural


C.     PATOFIDIOLOGI
            Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
            Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.




 
Gb. Lapisan pelindung otak



            Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.
            Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.
            Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
            Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:

1.       Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2.      Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3.      Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.
      Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens. Pembagian Subdural kronik:
Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
·         Tipe homogen ( homogenous)
·         Tipe laminar
·         Tipe terpisah ( seperated)
·         Tipe trabekular (trabecular)
                                    Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama penyerapan.
                                    Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
·         Tipe konveksiti ( convexity).
·         Tipe basis cranial ( cranial base ).
·         Tipe interhemisferik
                                    Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan subdue ral kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.



D.    TANDA DAN GEJALA
1.      Hematoma Subdural Akut
      Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

2.      Hematoma Subdural Subakut
      Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
      Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

3.      Hematoma Subdural Kronik
      Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
      Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
      Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
      Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
ü  sakit kepala yang menetap
ü  rasa mengantuk yang hilang-timbul
ü  linglung
ü  perubahan ingatan
ü  kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.


KERUSAKAN PADA BAGIAN OTAK TERTENTU
      Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.



Kerusakan Lobus Frontalis
Ø  Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.
Ø  Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.


Ø  Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. 
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

E.     PENATALAKSANAAN
            Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
            Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy.
            Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang.
            Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.
Indikasi Operasi
ü  Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
ü  Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
ü  Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
            Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan.
            Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan Markam.
Follow-up CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.



PEN-KES UNTUK KELUARGA
ü  keluarga diberikan penkes tentang perawatan pasien dengan masalah cedera kepala, diantara yaitu :
ü  Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi cidera kepala termasuk gangguan fungsi luhur dari pasien, oleh karena itu perlu control dan berobat secara teratur dan lanjut.
ü  Mengajarkan bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan selama dirawat dan dirumah nantinya
ü  Mengajarkan pada keluarga dan melibatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien
ü  Mengajarkan melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan terencana agar tidak terjadi cidera pada neuromuskuler
ü  Mempersiapkan keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila saatnya pulang, kapan harus istirahat, aktifitas dan kontrol selama kondisi masih belum optimal terhadap dampak dari cidera kepala pasien dan sering pasien akan mengalami gangguan memori maka mengajarkan pada keluarga bagaimana mengorientasikan kembali pada realita pasien.
REHABILITASI
ü Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi saluran kencing.
ü Goal jangka pendek
Ø  Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan posture untuk mobilitas dan keamanan.
Ø  Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi musculoskletal, defisit neurologi
Ø  Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi seperti kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM (pergerakan sendi) dan mobilisasi dini.

Ø  Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program terapi yang melibatkan lingkungan dirumah.
Ø  Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi coma management dan program sensory stimulation Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis :dokter ,terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga. Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang adekuat, edukasi keluarga.





BAB II
PEMBAHASAN

Nn. Noni (20 tahun) masuk UGD dengan kecelakaan lalu lintas sepeda motor, ditemukan pingsan, GCS 10, gelisah, mata lebam dan luka pada frontal kanan. TD 130/90 mmHg, N = 110x/menit, S = 36,2oC. Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan. Nn. Noni diputuskan untuk dirawat diruang intermediate care. Keesokkan harinya ditemukan klien GCS 7, N = 65x/menit, p = 10x/menit, TD = 160/100 mmHg, S = 38,5oC, refleks pupil kanan/kiri midriasis, ditemukan kelemahan pada ekstrimitas kiri, dan klien gelisah sekali.
Pengkajian:
ü Pengkajian awal ditemukan pingsan, GCS 10, gelisah, mata lebam dan luka pada frontal kanan. TD 130/90 mmHg, N = 110x/menit, S = 36,2oC. Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan.
ü Keesokkan harinya ditemukan klien GCS 7, N = 65x/menit, p = 10x/menit, TD = 160/100 mmHg, S = 38,5oC, refleks pupil kanan/kiri midriasis, ditemukan kelemahan pada ekstrimitas kiri, dan klien gelisah sekali.
Dari hasil pengkajian diatas Dx medis yang ditegakkan adalah “Hematoma subdural“.

A.    ANALISA DATA
DATA FOKUS
MASALAH KEPERAWATAN
DO:
-      Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan.
-      GCS 7, N = 65x/menit, p = 10x/menit, klien gelisah sekali. Penurunan kesadaran.
-      Tidak efektif pola nafas.
-      Bernafas menggunakan otot bantu nafas
-      Nafas dalam
SD:-
Tidak efektif pola nafas berhubungan dengan penurunan kesadaran.
DO:
-      Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan.
-      Mata lebam dan luka pada frontal kanan.
GCS 7, N = 65x/menit, p = 10x/menit, TD = 160/100 mmHg, S = 38,5oC, refleks pupil kanan/kiri midriasis, ditemukan kelemahan pada ekstrimitas kiri, dan klien gelisah sekali. Perdarahan dan edema cerebral
DS: -
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan perdarahan serebral, peningkatan tekanan intrakranial.
 
-       


B.     ASUHAN KEPERAWATAN
a.       Pengkajian Umum
ü Hal penting yang harus diperhatikan :
-          Saat kejadian
-          Tempat
-          Bagaimana posisi saat kejadian
-          Serangannya
-          Lamanya
-          Faktor pencetus
-          Adanya fraktur dan status kesadaran
ü  Status neurologi
-          Perubahan kesadaran
-          Pusing kepala
-          Vertigo
-          Menurunnya reflex
-          Malaise
-          Kejang
-          Iritabel
-          Kegelisahan atau agitasi
-          Pupil; ukuran, refleks terhadap cahaya.
-          Hemiparesis
-          Letargi
-          Koma
ü  Status gastrointestinal
-          Mual- muntah
ü  Status kardiopulmonal
-          Kesukaran bernafas atau sesak
-          Depresi nafas
-          Nafas lambat
-          Hipotensi
-          Bradikardi
ü  Glascow Coma Scale
-          Menggunakan 3 area pengkajian, yaitu :
-          Eyes (E)
-          Verbal response (V)ú
-          Motorú response (M)
-          Normal = 15 dan ≤ 8 indikasi koma


Gb. Contoh Glasgow Coma Scale

b.      Pengkajian Kasus
ü Data subjektif :
     Masuk UGD dengan kecelakaan lalu lintas sepeda motor.
ü Data objektif
-          Pengkajian awal ditemukan pingsan, GCS 10, gelisah, mata lebam dan luka pada frontal kanan. TD 130/90 mmHg, N = 110x/menit, S = 36,2oC. Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan.
-          Keesokkan harinya ditemukan klien GCS 7, N = 65x/menit, p = 10x/menit, TD = 160/100 mmHg, S = 38,5oC, refleks pupil kanan/kiri midriasis, ditemukan kelemahan pada ekstrimitas kiri, dan klien gelisah sekali.

c.       Diagnosa Keperawatan
1.   Tidak efektif pola nafas berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali efektif.
Kritera hasil :
-          Pola nafas normal 12-22 x/menit.
-          Kesadaran meningkat.
-          Klien tampak nyaman.
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.    Kaji A,B,C.
2.    Kaji apakah ada fraktur servikal dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra. jika ditemukan ada fraktur servikal 8 posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 - 30 derajat
3.    Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan.
4.    Kaji status pernafasan; kedalamannya, usaha dalam bernafas.
5.    Kaji tanda-tanda vital setiap 2 – 4 jam

Kolaborasi
6.   Pemberian oksigen sesuai program


2.Perubahan perfusi jaringan serebral dan resiko peningkatan TIK b.d perdarahan dan edema cerebral
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan perubahan perfusi jarinagn serebral dan resiko peningkatan TIK tidak terjadi.
Kriteria hasil :
- Perfusi jaringan jaringa baik.
- Tidak terjadi penurunan kesadaran
- GCS meningkat (13-15)
- Perdarahan teratasi.
- Edema berkurang/tidak ada.


INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri :
1.   Memonitor/obs tanda vital tiap 4 jam dan memonitor/obs kesadaran / GCS setiap 4 jam
2.    Memberikan posisi Elevasi kepala 30 derajat setiap 4 jam untuk menurunkan tekanan vena jugularis
 Menentukan faktor2
§ penyebab penurunan perfusi jaringan otak/resiko TIK meningkat.
3.   Memantau/mencatat status neurologis secara teratur dan membandingkan dg nilai normal
 Mempertahankan tirah baring miring kiri/kanan dengan posisi kepala netral

4.   Mengkaji kondisi vaskular (suhu, warna, pulsasi dan capillary refill) tiap 8 jam
 mencatat intake dan output.
5.    Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver
 menurunkan stimulasi eksternal yang dapat meningkatkan TIK dan berikan kenyamanan dengan menciptakan lingkungan tenang dan suhu ruangan dalam kondisi normal (mengatur suhu ruangan menyalakan AC).
6.   Memasang pagar pengaman tempat tidur dan memasang retrain pada daerah ekstermitas
 Penkes pada keluarga dan selalu bicara dan komunikasi dengan
§ pasien.
Kolaborasi :
7.   Memberikan O2 kanul 4 l/mnt
 Memberi pertimbangan pemeriksaan AGD, LED, Leukosit setelah 3 hari perawatan
Pemasangan cairan IV NaCl 0,9% /12 jam
8.      Memberikan obat-obatan injeksi :
-          Citicolin 2 x 500 mg - Ranitidin 2 x 1 ampl
-          Vit C 1 x 400 mg
-          Kaltropen 3 x 1 ampl
-          Dexametason 4 x 1 ampl
-          Cefriaxon 2 x 2 gr